Manila and Its Charm of Familiar Chaos

Berangkat naik Cebu Pacific jam 00:15 WIB dari Cengkareng, Terminal 2F. Pilihannya untuk direct flight cuma itu atau Philippines Airlines di Terminal 3 yang malah berangkat jam 00:55 WIB. Ini pertama kalinya aku naik pesawat yang literal red-eye. Terbang CGK-MNL dapat di harga Rp1.450.000,-an. Tanpa bagasi, hanya 7kg barang kabin, tanpa makanan, tapi bisa minta kursi jendela ke Mas yang tugas di check-in counter. Walau ujung-ujungnya aku dapat 1 row sendirian di barisan depan meski penumpangnya agak ramai di belakang.

Pesawatnya pakai Airbus A320 neo. Bagus, bersih. Kemarin ada 1 pramugara ganteng sekali (hi, Noah!) tapi kelihatan masih baru karena pas safety demo belum sat-set pakai pelampung keselamatan, yang kemudian kelihatan diajarin lagi sama pramugari seniornya di balik divider kabin bagian depan. Durasi terbang menurut jadwalnya adalah 4 jam 35 menit, tapi kemarin sampai 50 menit lebih awal. Ninoy Aquino International Airport (NAIA)-nya Manila kan di tengah kota, ala-ala Halim gitu, jadi pemandangan lampu malam hari ketika mau landing itu cantik sekali.

Kesan pertama masuk bandaranya adalah… it’s decent. Ngga bisa bilang mewah karena memang ngga, tapi memadai. Jalan koridor menuju keluar bandara pakai keramik (bukan karpet), lega, travelator berfungsi baik, ada pajangan jeepney, minim tempat duduk, dan toiletnya bersih serta ada pilihan mau yang bidet atau tanpa bidet.

NAIA ini cukup terkenal akan ketidakefisienan imigrasinya. Tapi untuk kedatangan jam 5 pagi, ditambah ada lajur khusus ASEAN, lumayan bikin cepat proses keluarku. H-1 sampai, aku sudah isi form juga untuk kedatangan via etravel.gov.ph. Kemarin dapat petugas imigrasi yang muslimah berjilbab, cuma ditanya berapa hari di sana, mau ngapain, sama siapa, kerjaanku apa di Indonesia, dan apakah ini pertama kalinya ke Filipina. Trus udah, aman dan dapat cap arrival.

Bandaranya punya 4 terminal. Pesawat dari Jakarta, Cebu Pacific beroperasi di Terminal 3 NAIA, sementara Philippines Airlines di Terminal 1. Antar terminal itu, mereka ngga ada sambungannya. Jadi kalau mau pindah dari satu terminal ke terminal lain, harus naik taksi umum dan lewat akses jalan umum. Katanya sih ada shuttle intra-terminal, tapi khusus untuk penumpang transit yang punya boarding pass. Not-so-fun fact ini tuh bikin bersyukur CGK punya Kalayang dan free shuttle bus 24 jam :’)

Cleared dari bandara, kami ke hotel. Tidur seharian. Malamnya baru ke mal cari makan. Hidangan babi di mana-mana, jadi harus pilih-pilih yang aman-aman aja. Makanan proper pertamaku di Manila adalah penne truffle mushroom dan Milo-nya Chili’s. Kesan dari people watching singkatku selama makan adalah bahwa Indonesia itu dikaruniai bentuk manusia yang sangat diverse, sehingga semua orang yang kulihat di mal saat itu kalau aku ketemunya di Jakarta, aku akan kira mereka orang Indonesia aja, until they open their mouth. Bahasa Inggris mereka cukup mudah dimengerti. Security personnel di sana bajunya fitted sekali dan kece, bawa borgol. Kalau yang polisinya kayaknya normal untuk bawa laras panjang di depan umum.

Besok harinya baru mulai eksplor. Kemana-mana naik Grab, pakai fitur quiet mode biar ngga diajak ngobrol. Tadinya aku ada pikiran mau coba-coba pakai jeepney atau kapal feri mereka yang gratis, tapi aku ada perasaan kayak ga sopan aja sebagai turis malah nyari yang super ekonomis padahal tarif Grab pun sama aja kayak di Jakarta. Filipina akan ada pemilu di bulan Mei 2025, jadi sepanjang jalan banyak sekali poster dan iklan-iklan calon senator. Kabel-kabel telepon dan fiber optic sumpah eta mah ngan sarua ku di Jaksel anying meuni pabalatak rariweuh, it truly feels like home. Motor lumayan banyak, mobil pun mereknya banyak yang sama dengan di Indonesia. Berkali-kali dapat Grab yang mobilnya Avanza. Bedanya adalah bahwa mereka posisi supirnya di sebelah kiri.

Destinasi pertamaku adalah Jollibee. Kalau ngga lagi makan di hotel, cuma ini makananku selama di Manila, jadi memang seperti biasanya, ngga akan ada cerita kuliner di visitku kali ini. Pesan take away Chickenjoy & crispy fries untuk dimakan di taman kota sebelah restonya. Ayamnya enak tapi tidak mindblowing, alias fast food di Jakarta pun banyak yang ayamnya begitu. Nama taman kotanya Rizal Park. Beberapa bagiannya sedang dipugar. Mungkin kalau terbuka semua, itu vibe-nya kayak perimeter dalamnya lapangan Monas. Jadi ada patung, lapangan rumput, dan bangunan megah di sisi-sisinya.

Salah dua bangunan megahnya adalah National Museum of Natural History dan National Museum of Anthropology. Aku pertama masuk ke museum natural history-nya. Ruang pamernya tersebar di 5 lantai, fully air-conditioned kecuali bagian tengah yang ada struktur tinggi menjulang namanya tree of life. Koleksinya mulai dari tema geologi, mangrove, flora-fauna di Filipina, dan biodiversitasnya mereka. Diorama-nya oke lah cukup bervariasi, walau tidak ada bagian yang super interaktif, hampir seluruhnya adalah display objek dan bacaan, tanpa bisa disentuh. Lalu, lanjut ke museum antropologinya. Kalau ini lebih ke display kehidupan sosial dan budaya dari rakyat Filipina yang beberapa mirip dengan Indonesia. Tekstil, gerabah, anyaman, patung, kitab suci, alat-alat pertanian, patung, dan lain-lain. Satu ruangan yang menarik buatku adalah ruangan yang didesain gelap dan dingin untuk display berbagai burial jar. Setelah dari 2 museum itu, aku tadinya mau ke National Museum of Fine Arts di seberangnya, tapi entah kenapa hari itu antrian masuknya banyak sekali. Jadi akhirnya aku ngga ke sana. Ketiga museum itu gratis, hanya cukup menunjukkan paspor dan bilang untuk kunjungan berapa orang.

Selesai dari museum, aku jalan kaki ke mall SM City Manila untuk ke supermarket dan beli makan malam. Experience jalan kakiku sepanjang 800m itu cukup aman sih. Tidak boleh jaywalking tapi di lampu merah simpangan besar ada zebra cross dengan timer, trotoarnya bersih dan lebar, banyak pohon, ada mural di depan sekolah, hanya ketemu 1 keluarga tunawisma lagi tiduran. Aku jalan jam 2 siang dan cuacanya memang panas. Tapi ini panasnya tuh mendingan daripada Jakarta. Aku ngga gembyobos dengan keringat. Lihat orang-orang, di Manila sangat lumrah untuk jalan sambil payungan dan pegang kipas angin portabel. Bahkan di dalam mobil Grab pun kayaknya ngga cukup dengan AC biasa, mereka tambah kipas angin yang dicantol di headrest supir, sehingga penumpangnya dapat angin lebih banyak.

Masuk mal, aku cuma beli pisang, jajanan, sama Jollibee lagi. Jollibee yang di mal ini lebih enak daripada yang di Rizal Park karena udah ada self kiosk-nya, tapi bayar harus tetap ke counter. Filipina ini ada program benefit untuk masyarakatnya, contohnya di Jollibee atau major fast food chain lain, para senior citizen akan dapat diskon 20% hanya dengan menunjukkan kartu identitas. Jadi di banyak toko ada tempelan peringatan keras untuk orang yang pakai senior card ataupun kartu person with disabilities (PWD) palsu. Pulang dari mal, aku nonton sunset dari jendela kamar, and it’s a wrap for our day two.

Hari ketiga sudah malas keluar kamar, tapi akhirnya jam 3 sore memutuskan untuk pergi ke Greenbelt & Ayala – Glorietta Malls. Konsep mal-nya ini perpaduan Pondok Indah Mall, Tunjungan Plaza, dan Central Park. Jadi dia berada cukup dekat dengan area distrik bisnis. Satu kompleks itu ada banyak mal, tengahnya ada taman dengan kolam-kolam kecil dan chapel, di salah satu mal ada museum seni kontemporer, lalu bisa ke mal seberangnya lagi lewat jembatan di atas jalan raya. Ngga dapat apa-apa di sana kecuali pemandangan orang-orang pulang kerja ngantri mau naik jeepney kayak orang kita ngantri mau naik Jaklingko, lalu aku memutuskan ke Star City. Jarak dari Glorietta ke Star City itu cuma 7.5 km, tapi karena rush hour, perjalananku butuh waktu 50 menit. Ngerasain juga macetnya Manila yang segila Sudirman dan Gatot Subroto tiap Jumat sore.

Star City itu theme park yang kalau kubilang lebih mirip Jungle Land Sentul atau Saloka Semarang bagian mainan dewasanya daripada Dufan. Tempatnya cukup kecil (berdasarkan standar theme park di Indonesia), sebagian besar indoor dan wahana-wahana besarnya di outdoor, dekat dengan laut, dengan harga tiket ₱779 atau sekitar Rp230.000. Mereka ngga bedain tiket orang asing dengan lokal. Aku pun ngarah mau naik ferris wheel-nya aja. Serunya Star City ini adalah dia buka dari jam 2 siang sampai jam 10 malam. Aku datang tepat waktu sunset, jadi dapat pemandangan bagus sekali dari atas kincir lihat pesisir dan lautnya, lampu kota yang sudah menyala, dan hingar-bingar orang teriak naik roller coaster. Pulang dari Star City jam 9 malam. Pesan makan di hotel, lalu istirahat.

Hari terakhir cuma punya pagi di Manila. Sarapan, lalu berangkat ke bandara. Pesawat pulangku ke Jakarta via transit di Singapura. Jadi, dari Manila pesawat jam 1 siang, sampai di Changi jam 5 sore, terbang lagi jam 10 malam untuk sampai di Soekarno-Hatta jam 11 malam. Berhubung kembali ditakut-takuti oleh cerita inefisiensi imigrasi NAIA, aku dari hotel jalan jam 9 pagi. Sampai bandara jam 9:40, lalu karena hanya document check tanpa drop bagasi, dan imigrasi lewat ASEAN lane yang kembali kosong, ternyata jam 10:30 aku sudah cleared untuk nunggu di dalam.

Pesawat ke Singapura naik Cebu Pacific lagi. Dapat di harga Rp2.100.000,-an. Sama seperti sebelumnya, Airbus A320, bersih, tepat waktu. Dapat tempat duduk di tengah. Kananku (window seat) perempuan paruh baya Filipina yang sepertinya akan kerja di Singapura, karena dia bawa map penuh kertas dengan dokumen tertulis jelas “ready for work“). Sebelah kiriku suami dari istrinya yang sama-sama duduk di kursi aisle. Akhirnya dengar pengumuman dengan bahasa Filipino di penerbangan ini. Waktu terbang 4 jam 10 menit. Aman sampai di Singapura, ngisi form online keimigrasian Singapura dengan tujuan transit supaya bisa masuk Jewel, keluar lewat autogate, lalu pindah dari kedatanganku di terminal 4 ke Jewel pakai shuttle bus.

Ngapain di Jewel? Cuma foto rain vortex, lalu beli signature egg tart cintaku kesayanganku di toko roti Lavender. I could never get enough of that egg tarts. Lalu ke Terminal 3 untuk check-in di counter-nya Batik Air untuk perjalanan SIN-CGK. Dapat di harga Rp3.200.000,-an. Kenapa ngga naik Cebu Pacific langsung lagi dari Manila? Karena mihil bingits, pas lagi beli tiket itu dicek udah 6.2 juta sekali jalan, padahal iya perginya cuma 1.4 juta. Aku pun memang ngga masalah transit selama itu di Changi.

Naik Batik Air ID di kursi tengah lagi. Ada beberapa jamaah pulang umroh yang juga naik di pesawat itu, termasuk Ibu di sebelah kiriku yang dapat window seat. Pesawatnya kan Boeing 737-800 ya. Waktu taxiing itu lama banget jalannya, jadi AC-nya yang memang diminimalisir bikin kerasa panasnya di dalam kabin. Ibu sebelahku sibuk putar-putar knob AC di atas, sampai akhirnya tanya ke aku kenapa hawanya panas. Trus aku bisa jawab “oh iya Bu emang gini, nanti juga dingin lagi, kalau udah terbang.” And right after, I was thinking like, ish aku sampai lho di titik ini di mana hal-hal kayak gitu, lalu suara-suara berisik buka pintu-pintu bawah kalau naik Airbus, atau uap/ asap putih yang keluar dari atas kabin pesawat tuh sesuatu yang biasa buat aku. :’)

Dapat roti cokelat dan air minum gelas. Sampai di CGK di Terrminal 2F, yang anehnya malam itu autogate imigrasi ngantriiii, padat sekali. Keluar customs, masih kekejar naik Kalayang terakhir untuk ke Terminal 3 karena aku prefer naik taksi/ Grab dari sana. Lalu pulang deh.

Thanks for being so friendly, Manila. Definitely would love to come back someday!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *