March Madness (Re: Indonesia)

To the people who keep saying,

.mau siapapun presidennya atau pemimpinnya, kita tetep nyari duit sendiri.
Hidup kita akan gini-gini aja. Dari dulu juga ga ada perubahan,”

I envy them, but I also pity them.

I envy how they could grow so apathetic to this country, they could stand on nothing. They’re trying to be neutral in the face of clear injustice. How blissful it is to still be able to afford ignorance.

I pity them because that’s an honest testimony of how the government has never been present for their difficult times in life. I also choose to believe their stance only comes from lack of horizon of knowledge and experience, that life could actually be better under a good, righteous government.

(alias mungkin belum pernah kayak aku pas konseran di Singapore sambil ngelus dada sambil sedih kenapa kita belum bisa kayak mereka.)


Betul, memang semua negara ada plus minusnya. Tapi kan artinya kita tuh bisa lho coba untuk meniru plus-nya aja.

Kita NGGA HARUS gini-gini aja.

Jepang diagung-agungkan karena keunggulan karya seninya dari yang tradisional sampai pop modern, usia harapan hidup yang panjang, dan budaya ketepatan waktu. Tapi memang punya masalah di jumlah laki-laki pervert yang banyak, kultur kerja-kerja-kerja-mati, dan rasisme. Jangan ditiru yang jeleknya.

Amerika Serikat sampai sekarang masih punya standar penghidupan yang tinggi, program-program social safety net berjalan walau memang tidak sempurna, dan sistem bipartisan yang memastikan selalu ada oposisi dalam politiknya sehingga kebijakan apapun bisa di-check and balance walau punya presiden gila dan orang-orang bebas untuk punya dan pakai senjata api.

Malaysia baru naik ranking paspornya jadi urutan 12 di dunia, visa free ke 183 negara, dan coverage yang komprehensif untuk masalah kesehatan yang ditangani di rumah sakit pemerintah. Mereka masih punya masalah internal racism dan segregasi berdasarkan agama tapi katanya sudah jauh berkurang kalau sekarang.

Singapura tuh transportasi umumnya terintegrasi, mata uangnya tiap tahun makin kuat, bandaranya bagus, negaranya bersih, jadi perempuan ngga takut untuk jalan kaki sendirian, pemerintahan dan hukumnya jalan dan ngga korup, tapi emang apa-apa mahal kalau dibanding tetangga-tetangganya.

Vietnam makin maju dan banyak investasi asing masuk ke sana. Thailand makin chill karena ganja legal plus perdana menterinya sekarang perempuan muda, walau memang nepo baby juga karena anaknya Thaksin. Filipina masih bergejolak tapi senggaknya berani penjarain mantan presiden dan sekarang lagi usaha impeachment wakil presidennya sendiri. Cambodia jadi sarang judi online tapi senggaknya mereka sarangnya aja, bukan pecandu tolol kayak orang kita. Brunei dan Laos ngga ada beritanya jadi kayaknya lagi stabil-stabil aja. Di antara kawan-kawan sekawasan yang masih oke, entah kenapa kita malah mau niru Myanmar bermiliter-militeran.

Kalau negara ini jadi jelek dan ngga punya temen, dan banyak orang asing dikasih travel advisory untuk ngga ke sini ataupun nerima orang kita di luar negeri, kan kita semua yang rugi. Prabski cs juga judulnya jadi pemimpin negara jelek. Ngapain sih mau mimpin negara jelek?

Bodok.


Beneran deh. Kita memang akan “tetep nyari duit sendiri,” tapi nyari duit tuh akan makin susah kalau hidup di bawah pemerintahan bodok.

Sekarang, kita kalau mau buka warung kecil-kecilan atau jualan masakan rumahan memang gampang, ngga perlu urus izin ke negara. Tapi kalau buka toko gedean dikit bakal disamperin ormas, dipalak buat setoran bulanan, tujuh belasan, lebaran, idul adha, sama nataru. Aparat penegak keamanan dan hukumnya antara melakukan pembiaran atau justru jadi backing ormas ini, dan gubernur atau walikota/ bupatimu ngga mau tau.

Wilayahnya luas dari Sabang sampai Merauke, banyak sekali tempat-tempat cantik yang bisa dieksplor. Tapi pembangunan kebanyakan terpusat di Jawa, dan harga penerbangan domestik seringkali lebih mahal dibanding penerbangan internasional dengan jarak yang ekuivalen. Sekalinya naik pesawat, sering terlambat dengan kompensasi yang tidak sepadan dengan kerugian waktunya. Ini karena praktek bisnis kartel dan monopoli, plus impor avtur dan biaya lain-lain lagi.

Katanya biaya hidupnya murah, tapi itu juga karena upah di sini murah. Sudah ada regulasi upah minimum, pemberi kerja masih tetap bisa menggaji orang di bawahnya dengan dalih usaha mikro atau kecil. Usaha mikro itu yang omzetnya di bawah 2 milyar dan usaha kecil itu yang omzetnya di bawah 15 milyar. Lima belas milyar. Siapa yang membiarkan upah minimum masih ada bawahnya lagi? Pemerintah lewat Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020. Murah itu relatif, dan dengan nilai tukar rupiah yang makin melemah, jelas memang hidup di sini murah, bagi orang yang digaji ngga pakai standar lokal. Nilai tukar rupiah lemah salah siapa? Sebagiannya salah pemerintah karena ngga bisa menarik investor untuk ‘mau punya rupiah’ dengan cara berinvestasi di sini karena pungli yang gila-gilaan dari hulu ke hilir, dan ketidakstabilan politik.


Ya Tuhan mengapa aku WNI?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *