Agak mubazir rasanya sudah setengah jalan tapi tidak mampir ke mana-mana. Tadinya mau ke Pontianak berhubung ada rute yang baru dibuka AirAsia awal September 2025 ini. Tapi dari review yang kubaca, bandara Supadio masih lumayan primitif dan beringas calo-calo taksi bandaranya. Belum ada BlueBird pula. Setelah mencari opsi lain, ketemulah Banda Aceh.
Naik Super Air Jet IU169 yang terbang jam 16:40 sore setelah delay 1 jam. Alasan terlambatnya karena ada rombongan umrah yang baru saja landing dari pesawat lain, jadi mereka harus ditunggu. Aku tadinya udah senang karena dikira dapat satu row kursi kosong semua, tapi ternyata setelah rombongan itu sampai, kebagian bersama satu penumpang lain, Bapak yang dapat kursi window, sementara aku di aisle. Perjalanannya di udara 1.5 jam untuk sampai di Banda Aceh jam 16:30 (time traveling ftw). Kesan pertama di Banda Aceh adalah langitnya biru, awannya putih, hehehe. Dasar orang Jakarta norak, lihat langit biru sedikit langsung sumringah.


Bandara Sultan Iskandar Muda ini compact menurutku karena bangunannya hanya 1 rectangle memanjang aja dengan atap kubah yang khas. Turun pesawat tidak pakai garbarata tapi pakai tangga langsung ke tarmac, dengan pemandangan Bukit Barisan dan Gunung Seulawah Agam, lalu para penumpang jalan kaki ±100 meter ke gedung terminal dan konter imigrasinya yang minimalis. Penumpang bareng aku kemarin kayaknya seimbang antara warga negara asing dan lokalnya. Pertanyaan dari petugas imigrasi ke aku cuma ngapain dan berapa hari di Banda Aceh, yang aku langsung jawab bahwa ke sini karena belum pernah ke Aceh tapi besok udah ke sini lagi (bandara) buat terbang domestik ke Jakarta. Akhirnya punya stempel arrival Indonesia lagi setelah terakhir pas umroh akhir 2023 lalu. Setelah itu karena ngga bawa bagasi, cuma pakai backpack besar dan tas tangan sebiji, aku ke konter customs untuk scan QR code dari All Indonesia, lalu langsung ke pintu keluar deh.
Khas bandara kita lah ya, di luar pintu kedatangan langsung banyak sekali masyarakat yang ‘menyambut’ menawarkan mobil dan taksi. Tapi karena aku udah tau mau naik Trans Koetaradja, aku terabas belok kiri ke arah parkiran motor. Sangat berterima kasih kepada Youtube channel Ahyaroe dan inimasabi, karena vlog mereka berdua lah yang bikin aku mantap pilih ke Banda Aceh: bahwa transportasi dari bandara SIM itu tidak harus naik taksi bandara yang overpriced. Aku sudah siap kalaupun tidak kebagian naik bus karena kesorean, tinggal jalan kaki sedikit untuk pesan Gocar dari luar gerbang bandara.


Jalan ke halte Trans Koetaradja cuma 1 menitan. Haltenya proper, bersih, ada papan informasi rute. Aku ketemu seorang Ibu petugas bea cukai yang juga nunggu busnya di sana untuk pulang ke arah kota. Ngobrol-ngobrol sedikit, dikasih rekomendasi harus makan apa, dan lain kali, katanya, harus ke Sabang tapi jangan sendirian lagi. Setelah menunggu sekitar 10 menit, bus koridor 05 jurusan Halte Bandara SIM > Pusat Kota via Ulee Kareng datang untuk bawa kami ke halte Masjid Raya Baiturrahman. Selama perjalanan, sore itu selang seling hujan, reda, hujan, reda. Aku dari dalam bus bisa lihat pelangi besaaaaar sekali di belakang kami. Sadly I didn’t take any pictures because it’s hard to snap a pic from the side windows that has decals on it and I was kinda embarrased to do so in front of the Ibu Bea Cukai and also Bapak petugas bus I was with, but the rainbow was sooooo beautiful and lasted for more than 10 minutes. I felt so welcomed. Puas sekali melihatnya.
Sampai di Halte Masjid Raya jam 17:40. Masih lumayan cerah dan terang, belum segelap maghrib di Jakarta. Sebenarnya jarak antara halte itu dengan hotelku dekat, ga sampai 1 km, tapi berhubung masih takut hujan lagi, aku pilih pesan Goride. Ya Allah, ongkosnya cuma Rp7000. Setengah perjalanan yang cuma 7 menit itu, bener aja, hujan lagi.
Hotelku namanya Hip Hope (asik bgt dah) di Jalan Moh. Jam No 70. Resepsionisnya baik, cekatan karena bookinganku sudah dicetak, jadi dia udah expect kedatanganku. Ada deposit Rp200.000 dan KTPku diminta sebentar untuk dicopy. Sepertinya ini hotel yang cukup mid dan populer untuk rapat kecil ataupun penginapan staf orang-orang dinas, karena hari itu ada papan penunjuk meeting room beserta nama penyelenggaranya, dan Bapak security yang antar aku ke kamar juga nanya “acara Dinkes, Bu?” Ehe, bukan. Kamarku ada di gedung baru yang udah ada lift-nya, di lantai 3 nomor 355. Sayangnya memang tidak ada jendelanya, sehingga aku ngga bisa tau keadaan luar. Overall, kesannya bersih, lumayan luas, kamar mandinya oke ada air panasnya tapi bentuknya aneh, panjaaang sesuai panjang kamarnya, bukan ruangan kotak seperti biasa. Amenities standar bintang 3 lah ya, ada 2 botol minum, teh kopi gula, pemanas air, sabun shampo. TV masih versi lama tapi aman karena sudah pakai set top box. Aku mandi dan bersih-bersih, tunggu maghrib dan isya, baru keluar lagi untuk cari makan malam.
Jam 8 malam kurang keluar naik Goride. Pusat kota ba’da isya setelah hujan tuh agak sepi, walau pertokoan dan ruko-ruko semua masih buka. Banyak jajanan kaki lima dan gerobak juga sepanjang jalan. I was guilty for thinking Banda Aceh wouldn’t just be a normal big city like how most are di Jawa. Aku makan di Restauran Gunung Salju. Lihat random aja di Google Maps dan rata-rata ulasannya bilang bagus. Pesan steak ayam porsi kecil dan teh susu dingin. Jadi, steak ayamnya itu kayak steak ayam tepung yang dipotong-potong, ditambah selada dan tomat, disiram kuah gravy kental yang rasanya asin gurih, disajikan bersama sambal acar potongan cabe dan bawang merah. Enak. Teh susunya itu kayaknya teh biasa aja ditambah kental manis banyak banget, tapi kita yang aduk sendiri. Anehnya, rasanya tetep ngga terlalu manis. Bayar Rp47.000 di sana (Rp32.000 + Rp15.000). Hanya bisa bayar tunai.


Lanjut dari Gunung Salju, aku jalan kaki ke Mie Razali. Ini tadinya ngga ada di radarku, tapi justru direkomendasiin sama Ibu Bea Cukai. Kupikir ngga ada salahnya coba karena emang deket banget. “Makan mie aceh di Aceh” sounds cool anyway. Aku masuk, ke arah kasir, tulis pesanan di kertas kecil yang ada di depannya, “mie kuah kepiting 1 porsi (bungkus)”. Kertasnya kukasih ke salah satu Abangnya, lalu dia suruh aku pilih kepitingnya dari dalam kotak yang ada di depan meja kasir. Kepitingnya kelihatannya sama semua sih ukurannya, milih tuh lebih ke selera aja. Aku minta tolong dipilihin, lalu aku duduk nunggu. Nah, resto ini kayaknya sistem masaknya tuh borongan, alias masak banyak sekaligus, jadi nunggunya cukup lama, aku sekitar 30 menitan. Setelah bungkusanku siap, disamperin, trus aku ke Bapak kasirnya lagi untuk bayar, Rp50.000 aja untuk mie kepiting. Bisa bayar pakai QRIS.



Balik ke hotel naik Goride lagi. Ganti baju, langsung makan (maklum, steak kecil setelah itu nunggu lama, udah laper lagi). Tapi kan namanya kepiting tuh keras ya cangkangnya. Untuk yang makan langsung di resto, aku lihat-lihat foto orang, akan dipinjemin tang pemecahnya. Ini aku makan sendirian di kamar hotel. Terpaksa capitnya kubungkus plastik trus kuinjek biar pecah. Ngga bisa dimakan kalau ngga gitu (life hack hey). Rasa mienya surprisingly bukan seleraku huhu. Kan kalau di Jabotabek sini mie Aceh identik dengan pedes yaa, tapi ini ngga pedes sama sekali, walau bumbunya memang medok pol. Full of spices, tapi ngga spicy. Nilai plusnya adalah porsinya banyak dan puas kalau memang doyan, sangat worth the price. Setidaknya sudah coba. Setelah makan, aku nonton tv sampai tidur.
Besoknya turun dari kamar untuk sarapan jam 7 pagi. Ramai sekali orang-orang dinas berpakaian batik, aku yang hanya seonggok dengan sweater hitam polos ini hampir ngga kebagian kursi. Menu sarapannya meski simpel dan varian tiap jenisnya sedikit tapi semua enak. Nasi putih, nasi kuning, udang balado (ini aku suka deh karena bahkan bintang 4 di Jakarta pun jarang yang masak udang, paling fillet ikan) (mungkin concern alergi ya), tumis buncis, telur balado, dan mie goreng. Buahnya ada semangka, pepaya, melon. Kue-kue kecil, gorengan, susu, jus, lengkap semua. Setelah sarapan, aku keluar jalan kaki ke arah masjid.


Entah memang kotanya orangnya segitu doang, atau pagi itu memang lagi sepi. Trotoarnya tidak bisa dibilang kinclong, tapi sekelibat cukup bersih. Bunga-bunga dengan warna cantik mencolok di pot-pot pinggir jalan. Orang-orang yang berkendara tidak memandangku aneh, meski aku yang merasa aneh sendiri karena ngga ada orang lain yang jalan kaki selain aku. Sampai di halte depan masjid, aku duduk sebentar karena melihat pelataran masjidnya masih dipel pakai zamboni-esque floor scrubber. Akhirnya memutuskan cari kafe aja. Jalan 10 menit, ketemu Simpang Lima Grocery Store. Beli jajan keripik merek Bitata asli Aceh (singkatan dari Biar Tambah Takwa, hehe), trus minum cokelat panas di kafe depannya, Coffee by SimpangLima. Bayar Rp18.700 pakai QRIS. Aku masuk jam 8 lewat sedikit keadaan masih sepi, tapi ±20 menit kemudian langsung ramai banget kena serbuan dari Ibu-Ibu yang nganter anak di sekolah sebelahnya. Kayaknya sehari-hari begini, karena terdengar dari meja kasir, banyak yang sudah langsung tau mau pesan apa.


Keluar dari SimpangLima jam 8:55. Jalan kaki ke Museum Tsunami. Gedungnya dari luar kelihatan megah (didesain Ridwan Kamil, btw, ada plakatnya di depan). Buka di hari Sabtu sampai Kamis (tutupnya Jumat, agak laen dari museum lain yang biasanya Senin) jam 09:00-16:00. Aku bayar tiket Rp5.000 di loket depan lalu ‘dipinjemin’ kartu pass yang kemudian langsung dikasihin lagi ke petugas yang ada di turnstile pintu masuk museumnya. Bagian pertama itu Lorong Tsunami yang gelap dan licin, dipenuhi suara gemuruh air dan sayup-sayup adzan. Aku ngerasanya biar khidmat, jalan dengan meraba-raba dinding, meski mungkin sebenarnya boleh hidupin lampu flash. Next, Ruang Kenangan yang memajang foto-foto dari minggu yang sama pasca tsunami Desember 2004. Kita diperlihatkan bagaimana Masjid Baiturrahman tetap kokoh tegak meski sekelilingnya porak-poranda, pasukan gajah yang difungsikan mengangkat puing-puing berat dalam upaya evakuasi korban, tenda-tenda pengungsian, lembaga-lembaga asing yang terjun langsung memberi bantuan, dll. Lalu masuk ke Sumur Doa, ruangan berbentuk tabung dengan dinding tinggi bertuliskan nama-nama korban tsunami, dengan pencahayaannya dibiarkan masuk alami lewat atapnya yang juga dipasang tulisan الله. Lanjut ke Lorong Cerobong, jalan setapak melingkari luar sumur doa dengan tulisan asmaul husna di sepanjang dindingnya. Bagian terakhir di lantai dasar, ada Jembatan Harapan: ruangan terbuka tengah museum dengan kolam ikan di bagian bawah dan bagian atasnya memajang 54 bendera negara-negara yang saat itu turun tangan membantu Aceh. Pagi itu kolamnya lagi dikuras, sehingga salah satu highlight perjalananku di Aceh ini adalah lihat ikan-ikan berenang miring karena airnya ngga cukup tinggi untuk badan mereka. Museum Tsunami ini total ada 4 lantai, tapi eksibisi tetapnya di lantai dasar itu aja. Lantai atas isinya teater mini yang memutar dokumenter tsunami dengan durasi 10 menit, diorama bangunan, foto-foto dokumentasi dari mitra, dan pameran tidak tetap.


Selesai dari Museum Tsunami, aku cari makan siang. Pesan Goride ke Al-Ajib, resto fried chicken lokal. Beli nasi, ayam potongan dada, es teh, dan strawberry sundae, bayar Rp38.500 pakai QRIS. Sebagai mantan anak Semarang, aku akui Al-Ajib ini jauh lebih proper dibandingkan OTI ataupun Olive, dia malah mungkin secara branding dan desain store, setaranya sama Richeese atau A&W. Enak. Kenyang makan, jam 10:45 aku pesan Goride lagi ke masjid. Setauku untuk masuk kawasan masjid, perempuan harus pakai rok, ga boleh bercelana, makanya dari pagi memang sudah siap pakai rok panjang dan kaos kaki. Titip sepatu di gerbang masjid, jalan ke arah minaret, tapi ternyata loketnya kosong. Itu udah ngerasa agak hopeless karena aku ngejar jam check out hotel. Hamdalah, Bapak penjaga minaretnya datang 5 menit kemudian, lalu aku dipersilakan masuk dan bayar biaya pemakaian lift Rp15.000 (bisa pakai QRIS).


Minaretnya punya 7 lantai, dan lantai untuk sightseeing-nya bisa di lantai 7 dan lantai 6. Aku pertama ke lantai 6 dulu. Beneran cantik banget pemandangan kota Banda Aceh dari atas. Apalagi sendirian jadi bebas banget lihat-lihat 360° semua arah. Perbukitan, gunung, tata kota, gedung-gedung, pepohonan, lalu lintas, pelataran masjid. Breathtaking. Naik ke lantai 7, justru ada jaring-jaring besi pembatasnya, jadi ngga bisa leluasa melihat pemandangan. Anginnya kencang sekali. Aku cuma 10 menit di atas. Turun, langsung menuju gerbang lagi untuk keluar. Sayang belum masuk ke dalam masjidnya. Harus ada lain kali kalau begitu.



Jalan kaki dari masjid menuju hotel, lewat pasar lama, lalu buru-buru mandi lagi dan kemas-kemas tas. Check out jam 11:35, tadinya aku mau naik Trans Koetaradja lagi aja. Tapi karena pertimbangannya naik bus butuh ±1 jam perjalanan dengan keberangkatan jam 12:00 dari Halte Masjid Raya, sementara pesawatku jadwalnya jam 14:05, maka akhirnya pilih pesan Gocar. Tarif Gocar untuk ke bandara SIM di Rp70.000 + parkir bandara Rp5.000 dengan waktu tempuh via Ulee Kareng lagi di 29 menit.
Sampai bandara, ternyata pesawatku delay 2.5 jam. Bisa-bisanya. Padahal aku tuh gapapa naik Super Air Jet di antara pilihan-pilihan lain karena selama 2 minggu ke belakang, Super Air Jet ini sudah kupantau ngga pernah delay parah. Normal-normal aja selisihnya ngga sampai 1 jam. Kalau terbang dari Bali, Surabaya, atau Medan, I wouldn’t be so foolish to fly with Lion Group, I know that. Entah kenapa hari itu pesawat Super Air Jet dari Jakartanya ada masalah teknis. Bandara SIM ini dalam sehari hanya ada 9 keberangkatan penerbangan komersial: 5 ke Jakarta, 2 ke Kuala Lumpur, 1 ke Medan, dan 1 ke Penang. Penerbangan ke Jakarta pilihannya Batik Air jam 07:00 (pagi banget bosQ), Garuda jam 11:00 (masih kepagian), Super Air Jet jam 14:05 (cocok), Pelita Air jam 14:55 (cocok tapi lumayan lama dari jam check out hotel), dan Garuda Indonesia lagi jam 15:40 (kesorean).
Gotta give it to them, kompensasi yang dikasih Super Air Jet lumayan menenangkan orang-orang. Pengumuman delay jam pertama dikasih snack biskuit gabin dan biskuit serena cokelat plus air minum. Pengumuman jam kedua dikasih nasi ayam goreng sambel yang mengenyangkan. Walaupun di antara snack dan makanan berat, aku tetap jajan 2 slice pizza microwave seharga Rp35.000 dari Port & Co. Dispenser air dingin dan panas juga ada, by the way, jadi aku ngga harus beli air misalkanpun ngga ada kompensasi air minum delay.


Boarding jam 16:20, take off jam 17:05, pas 3 jam dari jadwal asli. Aku sudah online check-in dari subuh untuk pilih kursi window untuk membayar ketidakdapatan pemandangan pada kursi aisle saat berangkat ke Aceh. Akhirnya bisa lihat runway dengan jelas. Keadaan cuaca cukup chaos di atas kemarin, menembus dan melihat awan hitam tebal beserta petir-petirnya. Beberapa kali seatbelt sign on, sampai baru kali itu seumur hidup setelah puluhan kali naik pesawat, denger pilot nyuruh “flight attendants, please be seated” karena turbulence-nya lumayan kencang. Minggu itu emang lagi banyak badai, bahkan Citilink QG737 rute Surabaya – Jakarta tanggal 22 September 2025 harus mendarat darurat di Palembang saking wadidaw-nya di atas. Aku tuh selalu menganggap diriku both passively homicidal and suicidal, karena hari-hari pengennya bunuh orang aja tapi ngga dilakuin, serta selalu ada pikiran kalau aku ngga hidup lagi juga gapapa asal jangan pakai sakit. Plane crash is such an ideal passive suicide. Kalimat ini harus tetap disudahi dengan amit-amit, amit-amit, amit-amit sambil ketok ketok meja, karena aku tau aku belum nulis surat wasiat dan nge-list semua akses bank/ akun finansialku buat Ayah Ibu.
Lama penerbangan Aceh-Jakarta adalah 2 jam 50 menit. Landing di Cengkareng Terminal 2 jam 19:55 tapi taxiing dan transfer pakai bus ke gedung terminal butuh waktu 30 menit. Aku pulang naik kereta bandara dan transit commuter line, jadi in the end, sampai rumah tetap malam banget juga, jam 22:30.


Rating-ku untuk Banda Aceh dalam 24 jam adalah 4.3 out of 5 stars! Langitnya biru, orang-orangnya ramah, pedestrian yang layak, makanannya lebih banyak yang enak daripada yang meh, Gojek gampang dapetnya, masjid rayanya indah, dan paling gong sebagai pecinta transum: Trans Koetaradja! Bisa-bisanya Banda Aceh dengan APBD hampir hanya seperempat dari Kota Depok punya bus yang melayani 6 koridor dan 9 feeder secara gratis! Masuk bandara pula! Gila! I’ll definitely come back, Banda Aceh, aku belum ke pantai. Teurimong gaseh! <3