These are random stories I want to write about my psychiatric diagnoses and doctor visits that are either too short, or I just couldn’t fit in any of the previous #MHJ parts.
1. Pasien-pasien Poli Jiwa
Stigma orang yang dateng ke poli jiwa atau dokter psikiatri alias psikiater tuh kan kayaknya “orang gila” ya (atau terminologi yang benar dipakai sekarang adalah “ODGJ”; gue ga mau disomasi juga kayak Deddy Corbuzier). Padahal dari pengalaman gue, pasien-pasien di poli jiwa itu dari tampak luarnya cuma akan kelihatan 2 jenis: orang yang ingin tetap sehat dan orang yang kelihatannya sehat.
Gue jelasin yang pertama dulu: orang yang ingin tetap sehat. Pasien dokter gue itu paling banyak adalah orang yang pernah direhabilitasi karena penyalahgunaan narkoba. Mereka ketemu dokter cuma untuk minta resep obat lanjutan. Jadi, jangan heran kalau misal lo liat gue di ruang tunggu poli jiwa –cewek, anggun, kerudungan, bawa handbag tenteng, pakai baju ala business casual— sementara di sekitar gue itu abang-abang, bapak-bapak, Aa-Aa yang tatoan dan sangar-sangar. They’re my default compadrés. Gue suka banget nunggu bareng mereka karena (1) First of all, I’m proud of them, (2) they make me look out of place and I liked being different anyway so I love the glance of people looking at me when they saw us together in the psychiatric waiting area, (3) mereka konsulnya cepet banget, kurang dari 1 menit ketemu dokternya karena beneran emang cuma minta resep, sehingga antrian dan ruang tunggu tuh cepet sepi.
Sementara, jenis yang kedua: orang yang kelihatannya sehat. Contohnya ya gue ini. Pas kontrol terakhir, gue sempet ngobrol sama sesama pasien, Mas-Mas usia 30an yang punya schizophrenia dan Ibu-Ibu early 50s yang keluhannya depresi. Kami tuh kelihatan normal banget, emang kayak ngga seharusnya di rumah sakit. But we are sick, and each of us are on our own mental health journey.
2. Ruang tunggu Poli Jiwa gue satu area dengan ruang tunggu Pediatrics (Poli Anak)
Nyambung dengan cerita di atas, bisa dibayangin ga tuh anehnya pemandangan di ruang tunggu gue? Ada children play area kayak di McD gitu, banyak bayi dan anak kecil beserta orang tuanya, digabung dengan gue yang bareng Aa-Aa tatoan. It’s a bizarre view. But I personally love it.
3. My other 4 coping mechanisms towards stress
Di post #MHJ 5, gue sempet mention tentang 4 langkah coping mechanisms gue dalam menghadapi stres sebelum akhirnya ke psikolog dan psikiater. I’ve had these 4 steps since I was an undergraduate student, dan gue akan ceritain di sini 4 langkah itu apa aja:
- H.A.L.T. check, alias gue akan cek apakah gue H for HUNGRY (“gue seharian itu udah makan atau belum?”), A for ANGRY (“apakah gue emang lagi marah sama orang lain yang bikin mood gue berantakan?”), L for LONELY (“kapan terakhir gue ngobrol sama orang selain driver gojek, runner pengantar paket, atau driver gofood gue?”), atau T for TIRED (“apakah gue tidur malam yang cukup beberapa hari terakhir ini?”)
- All-day working from cafe/ the library. If I passed my HALT check for a couple days but I still didn’t feel any improvements, artinya gue perlu keluar kosan untuk kerja atau ngerjain tugas. Paling sering dari dulu sih di Starbucks (I always ordered Venti Hot Mint Blend Tea with both teabags in, plus 3 pumps of vanilla syrup), McD, atau Perpusat UI.
- Staycation. Kalau setelah 2 cara di atas gue masih stuck dan stress juga, gue biasanya akan staycation, walaupun jarang yang mahal sih. Dulu pas masih ada Airy Rooms, itu hampir semua di sekitar Tembalang dan banyak lokasi di Jogja udah gue cobain (karena dulu gue juga kuliah pajak 4 bulan di UGM). Bedanya all day being out dengan staycation adalah ketika bangun tidur, gue ngadepin pemandangan yang berbeda, and it usually lifts my mood to wake up in a different space than my kosan.
- Ketemu temen. Jadi, gue mungkin emang rada aneh untuk menempatkan ‘ketemu temen’ setelah semua escapism di atas. Gue ketemu temen pun bukan untuk curhat sama sekali. Gue justru ga pernah ngomong ke mereka bahwa gue lagi stress (kecuali satu kejadian itu deng, and I owe Anne & Icha a lot for their hospitality, friendship, and understanding, buat Bono yang selalu ngechat random gue dan oke-oke aja buat meetup for lunch, and of course my dearest Egin for always being there for me for the past 15 years at this point). This part is basically portraying how I just wanted to have friendly interaction with someone I am familiar with.
- Pergi ke psikolog & psikiater jadi coping mechanisms gue di no 5 dan 6, respectively.
4. How could I be so open towards my therapist/ doctor
Mungkin ada yang masih ragu, apakah bisa gue terbuka dengan sangat eksplisit ke psikolog atau psikiater gue? Jawabannya, gue bisa, banget. Alasannya ada 2: Gue sangat percaya dengan medis, dokter, dan segala kode etiknya, serta memang I have the tendency to overshare stuffs to strangers.
Jadi kalau lo mau minta tips gimana caranya supaya bisa terbuka dan ngga merasa cangung/ ga enakan untuk cerita ke psikolog/ psikiater, jujur, gue ga punya tips lain kecuali yakinkan diri lo sendiri bahwa they’re not judgmental, they’ve handled worse cases, they’re there to help you, and they couldn’t properly help you if you’re not being honest with them.
That’s all for now. I’ll add more if there’s any other random stories about my #MHJ here.
Thanks for reading!
Youtube link if you want to hear me reading this plus some more: https://youtu.be/mrJtsaHQhK8.
Or if you want the full playlist of me reading the rest of the #MHJ series: https://www.youtube.com/playlist?list=PLtrlm279mx_cPz–DJa1YzO8y1CjuaHuz.