Empat tahun perjalanan gue di masalah stress dan kejiwaan ini, gue termasuk yang sangat-sangat beruntung dalam hal menemukan professionals yang beneran profesional. Gue langsung cocok dengan psikolog dan psikiater pertama gue, tanpa harus gonta-ganti atau ketemu dengan yang, let’s say, ‘judgmental’.
Tapi, seperti kebanyakan orang, awalnya gue pun ada rasa takut kalau ternyata nanti pas curhat, malah masalahnya cuma di-brush off gitu aja, atau ga didengerin, atau yang paling males kalau sampai ketemu psikolog atau psikiater yang ujung-ujungnya nyuruh solat :))
Don’t get me wrong. Sholat memang menenangkan bagi banyak orang. Istilahnya, ke mana lagi tempat terbaik untuk berserah untuk mereka yang sudah sangat pasrah kecuali di atas sajadah?
Tapi bukan berarti masalah yang legit physical pain and medical needs diatasinya bisa dengan sholat aja. Psikoterapi dan psikotropika juga harus dianggap sebagai bentuk ikhtiar. Sebagaimana ga ada anak ahensi yang kesakitan karena GERD trus dibilang obatnya adalah harus banyakin sholat. It don’t make sense.
Untuk gue pribadi, pertama kali nyari psikolog itu ketika mentok waktu skripsian. Jadi, saat itu gue beneran mencari yang ga ada kemungkinan gue untuk ‘diceramahin’. Because I’ve received enough scolding from my parents, so I don’t want to talk to another Gen X or Boomers in general yang kayaknya bakal cuma nganggep gue ‘males’. Jadi, selama browsing-browsing psikolog itu gue sengaja cari yang 1) masih muda 2) Kristen/ Katolik/ agama yang lain, pokoknya bukan Muslim. Dan di Semarang kebetulan dapet.
Beliau buka prakteknya di rumah. Rumahnya juga beneran adem, tenang, banyak pohon, dekorasinya etnik gitu, jadi bikin pasien yang dateng juga nyantai. Bukan serasa di film-film yang duduk di sofa panjang sementara psikolognya nulis-nulis di kertas, no, ngga sama sekali. So, in short, I cried my heart out, she listened very attentively, and actually given me practical advice on my skripsi writing, jadi bukan cuma dengerin doang, dan sama sekali gue ga ngerasa di-judge. Pulang dari situ tuh beneran gue merasa plong, dan kayak lihat pelangi setelah berhari-hari hujan badai.
Sementara untuk psikiater, gue nyaranin untuk pakai aplikasi Alodokter aja, trus klik yang bagian “Buat Janji”, masukin spesialisasi “Dokter Psikiater”, trus input lokasinya di mana. Enaknya pakai Alodokter itu harga konsultasinya jelas, dan ada fitur ulasan dokternya. Itu penting banget buat dibaca dulu karena people usually leave negative reviews more elaborately. Jadi, kalau mau menghindar dari dokter yang judgmental, terlalu relijius, terburu-buru, cuma nyekokin obat, atau sebaliknya malah ngga ngasih obat sama sekali, you better read those reviews first.
Tips lain, kalau familiar dengan reddit, bisa coba gabung di subreddit r/pedulijiwa. Itu sub-sister dari r/indonesia yang khusus untuk masalah mental health. I am an occasional commenter, so if you happen to notice me there, feel free to send me a DM.
But in the end, lagi-lagi, ini gue tekankan bahwa gue termasuk yang beruntung. Psikolog dan psikiater itu sangat cocok-cocokan. So, if your first experience going to the therapist or psychiatrist didn’t seem to be working, or they weren’t suitable for you, or made you uncomfortable, please please please, if you have the means to, just go to other ones for second or third opinion. Kalau masalahnya ada di biaya, gue akan tulis tentang minta rujukan ke psikiater lewat BPJS di salah satu postingan selanjutnya (ada di #MHJ 5.) di series Mental Health Journey ini.
Thanks for reading.
Youtube link if you want to hear me reading this plus some more: https://youtu.be/zamM_XhTMPM
Or if you want the full playlist of me reading the rest of the #MHJ series: https://www.youtube.com/playlist?list=PLtrlm279mx_cPz–DJa1YzO8y1CjuaHuz.