Per 17/8/20, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia sudah mencapai 6,207 nyawa. Secara global, angkanya sudah di 772,000+. Berkali-kali baca tweet dan berita tentang bagaimana virus ini bikin orang jadi ngga ada cuma dalam hitungan hari dan minggu. Situasi ini bikin aku kepikiran satu hal: Aku ngga tau harus ngapain kalau maut datang menjemput orang-orang tercintaku.
Kita ngga pernah biasa membicarakan kematian. Paling sering hanya saat ada relasi yang sakitnya sudah parah dan —istilahnya— tinggal menunggu ajal. Kalau kita mau ngomongin mati dengan kerabat yang masih muda, akan diabaikan dengan dalih, “Pamali! Berdoa aja Insya Allah sekarang masih muda, masih sehat”. Kalau mau ngomongin mati dengan yang usianya bahkan sudah di sekitar usia saat Rasulullah wafat (63 tahun), malah dikira ngedoain yang jelek-jelek dan minta warisan 🙁
Padahal dalam Islam, selalu diajarkan bahwa kematian itu pasti, dan tidak dapat dihindari, dimajukan, atau dimundurkan (QS. Ali Imran: 185; QS. An-Nahl: 61; QS. Al-Waqiah: 60). Lalu kenapa sih kita segitunya menghindari membicarakan kematian, bahkan lebih dari kita menghindari pembicaraan hal tabu lainnya seperti seks? Padahal kemungkinan kita akan mati selalu 100%, sementara kemungkinan kita ‘getting laid’ tidak sepasti itu 🤷🏻♀️
Satu-satunya perbincangan yang menyerempet tentang kematian dengan orang tua saya adalah sebelum keduanya pergi berangkat haji. Ayah saya saat itu memberi tahu tempat penyimpanan buku tabungannya, sambil berkata, “kalau ada apa-apa.”
Itu aja. Kurang dari 20 detik.
“Emang apa yang mau diomongin sih?”
Saya sih jujur, saya banyak ngga taunya. Contoh paling krusial: mau dimakamkan di mana?
Ayah saya orang Jawa Tengah, tapi sudah lebih lama tinggal di Jawa Barat sepanjang hidupnya. Ibu saya asli Jakarta, tetapi rumah masa kecilnya sudah kena gusur pembangunan. Saya sih selama ini berpikirnya beliau berdua sudah mengidentifikasi diri sebagai warga Bogor aja, tidak mau kembali ke daerah asal. Tapi itu kan pikiran saya. Kalau ternyata Ayah sebenarnya ada keinginan dipulangkan ke kampung gimana? Saya ngga akan pernah tau, kalau ngga pernah membicarakan kematian ini.
Contoh lainnya:
- Keinginan apa saja yang dipunya, yang sebenarnya bisa dibantu wujudkan sekarang maupun nanti, tapi selalu ditunda-tunda untuk dibicarakan?
- Apakah ada surat wasiat yang dibuat?
- Sumbangan rutin/ tanggungan lain/ membership; mana yang harus di-cancel dan mana yang sebaiknya terus dilakukan?
Di Amerika Serikat atau negara dengan budaya yang serupa dengannya, perencanaan kematian adalah hal yang lazim disiapkan oleh individu itu sendiri dan/atau keluarganya secara mandiri. Untungnya, masyarakat Indonesia umumnya bersifat guyub, alias selalu sigap tolong menolong, apalagi kalau soal kematian.
Banyak hal-hal praktikal yang di sini, seolah-olah, langsung ada dan beres, karena bantuan tetangga. Bunga, kafan, bendera kuning, dan air, akan dicarikan segera setelah berita lelayu diumumkan. Kain jarik yang dipakai membungkus mayat saat masih di rumah itu ternyata kalau di RT perumahan saya selalu ada stoknya, disimpan oleh salah satu warga. Lalu, cukup kontak 1-2 orang tertentu di lingkungan yang menjadi ujung tombak japri untuk diminta tolong memanggil orang-orang saat akan diadakan tahlilan. Lihat juga di berbagai daerah bagaimana pemakaman dan/atau prosesi tentang kematian secara umum menjadi hajat besar bagi banyak orang.
Saya sampai saat ini memang belum pernah dihadapkan dengan kematian orang yang saya anggap sangat dekat. Paling mantan pacar saya. Itupun baru satu, yang lain Alhamdulillah masih hidup. Tapi kayaknya saya mau coba lebih terbuka untuk membicarakan kematian dengan orang-orang di sekitar saya.
Pertama dipublikasikan di IG @prisma.gita, 27 Agustus 2020.